0
Rp0
Mini Cart
  • Empty cart

    No products in the cart.

Sejarah Gunung Agung: Sang Pelopor yang Kini harus Pamit menutup semua gerainya.

PT GA Tiga Belas atau yang lebih kita kenal Toko Gunung Agung membuat pengumuman akan menutup semua gerainya. Toko Gunung Agung merupakan perintis toko buku dan alat tulis di Indonesia. Berdiri sejak tahun 1953 oleh Tjio Wie Tay, Gunung Agung merupakan pengembangan dari bisnis buku bekas yang dijalani tyo atau lebih dikenal dengan masagung yang telah merintis bisnis penjualan buku sejak tahun 1940-an. Gunung Agung sejak pertama kali berdiri memiliki Kantor Pusat yang berlokasi di Jalan Kwitang, tercatat tidak pernah pindah dari sana hingga sekarang.

Bisnis Gunung Agung mulai berkembang ketika perusahaan ini banyak menyelenggarakan pameran buku. Dengan itulah nama usaha Masagung mulai dikenal dan kemudian dipercayakan banyak tokoh penting sebagai penerbit buku mereka. Seiring dengan semakin besarnya Toko buku Gunung Agung, masagung mulai membuka cabang di Yogyakarta, Medan, Riau, hingga Papua. Bahkan pada 1965 cabang Toko Gunung Agung dibuka pula di Tokyo. Selain itu, bisnis Toko Gunung Agung kemudian juga merambah ke percetakan, penerbitan, distribusi, hingga impor majalah. Pada akhir 1980-an, Masagung menyerahkan kepemimpinan perusahaan kepada anak-anaknya, sampai saat ini.

Bisnis GA tiga belas Selain memiliki Toko Gunung Agung juga memiliki beberapa nak perusahaan lainnya yatu 4 cabang toko buku dengan merek dagang TGA Bookstore yang berada di Senayan City, Pondok Indah Mall, ANZ Thamrin Nine dan Galaxy Mall. Perbedaan antara Toko Gunung Agung dengan TGA Bookstore adalah dari segi segmen pasar yang dituju: TGA Bookstore lebih membidik pasar kelas menengah ke atas, sehingga barang-barang yang dijual disesuaikan dengan target pasar, khususnya buku-buku impor.

Perusahaan saat ini memiliki 3 anak perusahaan, yaitu PT Perdana Makmur Agung, yang bergerak di bidang ekspor impor dan distribusi, PT Ayu Masagung, yang bergerak di bidang perdagangan valuta asing dan PT Timpani Agung, yang bergerak di dalam bidang penerbitan.

Pendiri

Sejarah Gunung Agung tidak lepas dari sosok pendiri Tjio Wie Tay atau kemudian lebih dikenal dengan Masagung adalah pendiri dari Toko Gunung Agung. (8 September 1927 – 24 September 1990) merupakan anak keempat dari lima bersaudara pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio. Ayahnya seorang ahli listrik tamatan Belanda, sedangkan kakeknya seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor.

Tjio Wie Tay menjadi anak yatim ketika dia masih berusia empat tahun, sejak saat itu kehidupan ekonomi keluarga mereka menjadi sangat sulit. Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang suka berkelahi. Ia juga punya kebiasaan “suka mencuri” buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen guna mendapatkan uang saku. Karena kenakalan ini, ia tidak bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda.

Namun justru karena kenakalannya, Wie Tay tumbuh sebagai anak pemberani. Ia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, ia mendapatkan satu sepeda. Modal keberanian inilah yang kemudian dia bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan tidak bisa dimungkiri, menjadi salah satu senjata andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya.

Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta saat berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibunya belum membaik juga. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari uang sendiri. Awalnya, ia kembali ke kebiasaan lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah stok buku pelajaran habis, ia mencoba menjadi “manusia karet di panggung pertunjukkan” senam dan aerobatik, walaupun penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.


Sejarah Gunung Agung, Awal Mula…

Wie Tay kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Di sinilah sifat beraninya kembali terlihat. Ia nekat menemui Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu.Dengan modal 50 sen, ia memulai usaha menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok. Di sini ia mulai rajin menabung, karena sudah merasakan betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok. Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, sampai akhirnya ia mampu membuka kios di Senen.

Menjadi pedagang rokok keliling membuka mata Wie Tay remaja bahwa ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Maka, setelah membuka kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Selanjutnya, Wie Tay juga berkenalan dengan The Kie Hoat, yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San. Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan pemasaran.

Kie Hoat lalu merundingkan dengan kedua sahabatnya tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih sangat belia dalam bisnis itu malah langsung setuju. Ia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan besar. Ternyata benar, namun sayangnya The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor.

Ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Tay San Kongsie. Di sinilah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tetapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku. Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3×3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6×9 meter persegi. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.

Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.


Outlet Tersebar

Sejak pertama berdisi dari kwitang sampai saat in itoko gunung Agung sudah tersebar luas hampir keseluruh Indonesia bahkan sampai Papua. Berikut adalah lokasi-lokasi toko Gunung Agung.

DKI Jakarta
Plaza Atrium
Plaza Blok M
Kwitang 38
Kwitang 6
Arion Mal
Mal Ciputra
Mal Sunter
Universitas Trisakti
Tamini Square
Lippo Plaza Kramat Jati

Bandung
Cihampelas Walk
Bandung Indah Plaza

Depok
Margo City

Bogor
Plaza Jembatan Merah

Bekasi
Borobudur Plaza
Plaza Pondok Gede
Bekasi Cyber Park

Cirebon
Mal Cirebon

Kota Tangerang
CBD Ciledug Mall

Tangerang Selatan
BSD Plaza
City Mal

Semarang
Mal Ciputra
Mal Paragon

Surabaya
Plaza Surabaya
Grand City Surabaya

Denpasar
Mal Bali Ramayana
Libi Plaza


Toko Buku Pertama yang melandai di Bursa Saham

Awalnya, sejak 1980-an, toko-toko buku Toko Gunung Agung dikelola di bawah PT Toko Gunung Agung Tbk yang didirikan pada tahun 1980, awalnya berbentuk CV bernama Ayumas Jakarta. Nama Toko Gunung Agung kemudian mulai digunakan sebagai nama perusahaan (PT Toko Gunung Agung) pada September 1990.Perusahaan ini kemudian go public di tanggal 6 Januari 1992 dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia) dengan kode emiten TKGA. Selama bertahun-tahun, Toko Gunung Agung telah menjadi satu-satunya toko buku dan alat tulis di Indonesia yang sudah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.

Belakangan, PT Toko Gunung Agung Tbk diakuisisi oleh PT Permata Prima Energi dalam rights issue senilai Rp 480 miliar di bulan Maret 2013, dan seluruh aset/bisnis toko bukunya (bersama anak usahanya saat itu PT Ayu Masagung, PT Perdana Makmur Agung, PT Timpani Agung, dan PT Panja Indohightech Komputer) dialihkan ke PT GA Tiga Belas yang kemudian menjadi pengelola baru Toko Gunung Agung sampai saat ini. Berbeda dengan PT Toko Gunung Agung Tbk, status PT GA Tiga Belas adalah perusahaan tertutup.

Pandemi Mempersusah Bisnis

Bisnis Toko Buku yang semakin tergerus oleh digital membuat Toko Gunung Agung semakin susah untuk bersaing ditambah dengan adanya pandemi COVID-19 membuat Toko Gunung Agung akhirnya terpaksa menutup sejumlah gerai mereka di Bekasi, Bogor, Gresik, Jakarta, Magelang, Semarang, dan Surabaya demi mengatasi kerugian akibat biaya operasional yang “semakin membesar”.

“Dan tidak sebanding dengan pencapaian penjualan usaha setiap tahunnya, yang mana semakin berat dengan terjadinya wabah pandemi Covid-19 di awal tahun 2020,” jelas mereka.

Kabar tutup Semua outlet

Berdasarakan berita yang dirilis di CNBC pada senin, 22/05/2023. Manajemen PT GRA Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung membuat kabar yang mengejutkan bahwa mereka mengonfirmasi kabar kondisi perusahaan termasuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Direksi memutuskan untuk menutup seluruh outlet yang masih tersisa pada tahun ini. Lantas apa alasannya?
“Penutupan toko/outlet tidak hanya kami lakukan akibat dampak dari pandemi Covid-19 pada tahun 2020 saja, karena kami telah melakukan efisiensi dan efektifitas usaha sejak tahun 2013 untuk berjuang menjaga kelangsungan usaha dan mengatasi kerugian usaha akibat permasalahan beban biaya operasional yang besar,” tulis manajemen

Rentetan toko buku yang tutup

Beirta tentang tutupnya toko buku bukannya yang pertama. Toko buku Gunung Agung bukanlah yang pertama dan satu-satunya yang akhirnya harus penutupan gerainya secara permanen dalam beberapa waktu terakhir.

Di tahun yang sama bulan april yang lalu, Books & Beyond juga memberikan pengumuman akan menutup permanen seluruh cabangnya di Indonesia pada Mei 2023. Namun, mereka akan tetap berjualan secara daring.

Toko buku favorit berikutnya yaitu Togamas telah lebih dulu menutup operationalnya pada Juli 2022. Salah satu alasannya karena pandemi yang menyebabkan penjualan mereka menurun.

Jaringan toko buku asal Jepang, Kinokuniya hanya menyisakan satu cabangnya di Grand Indonesia, setelah menutup permanen tokonya di Plaza Senayan pada April 2021.

Previous
10 Kartu Kredit Untuk pemula, Pengajuan Mudah, Instan Approve
Next
Yang Perlu diketahui Tentang Cetak Majalah

Ari Wibowo M.M, MBA adalah Founder & Serial Entreprenuers yang memiliki keahlian tersertifikasi bidang Enabling E-commerce & Supply Chain Management. Hobby menulis tentang Traveling, dan share pengalaman menarik tentang membangun bisnis percetakan.

Website
You may also like this

Leave us a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.